Selamat Datang Di Blog KAPMI Daerah Jakarta Barat Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia (KAPMI) Daerah Jakarta Barat: Tukang Es Doger, Tukang Payung, dan Seorang Ibu

Kesetuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia

Bertempat di SMA Al - Azhar Kebayoran tanggal 04 April 1999 lahirlah sebuah organisasi pelajar yang merupakan gabungan dari tujuh organisasi pelajar di DKI Jakarta

Berlangganan Berita

Sign up to receive latest news

Minggu, 20 Desember 2009

Tukang Es Doger, Tukang Payung, dan Seorang Ibu


Penulis: Mahaeka


Tukang Es Doger
Cuaca panas. Seseorang sedang meringis di emperan toko yang entah kenapa tidak buka. Seorang anak merajuk pada ibunya, minta sesuatu bernama es krim. Sang ibu sedang sibuk menghitung apa pun yang tersisa dalam dompetnya, setelah sebelumnya lupa membeli terasi.

Tukang es doger menghela napas tanpa mengipaskan apa pun ke dahi dan lehernya yang sibuk mencucurkan keringat. Ia hanya punya satu permintaan bahwa Tuhan Yang Mahabijaksana sudi membuat bumi dan seisinya ini semakin panas. Dan semoga saja orang-orang di bumi ini tak punya cukup uang untuk membeli es krim. Ia hanya minta seribu saja. Berlembar-lembar seribu. Seribu yang banyak. Seribu yang melimpah ruah, dari orang-orang kehausan.

Beberapa mobil berhenti di hadapan tukang es doger. Mereka adalah satu atau dua atau tiga mobil mahal yang jumlah uang untuk membelinya tak pernah bisa dibayangkan seorang tukang es doger pendamba panas selamanya. Lampu lalu-lintas mendiamkan semua, ia harap itu akan berlangsung lama. Sepuluh menit pun boleh. Bahkan lima menit pun tak apa.

Harapannya kandas ketika lampu lalu-lintas tak berpihak padanya. Semua beku menjadi lalu yang melalang tanpa dihadang keinginan untuk membeli es doger seribu rupiah.

“Ma, jajan!” Anak kecil tak lelah merajuk pada sang indung. Ia hanya minta es krim, tak ada yang salah dalam pintanya. Yang dirajuk masih asyik masyuk dengan dompet yang entah apakah ada isinya atau tidak. Tukang es doger hanya berharap, es krim ditiadakan di muka bumi ini. Tolonglah...

Angin pengharapan berkebit bebas. Ibu si anak telah menyerah pada takdir yang telah membuat isi dompet lekas hilang dan sulit datang kembali. Matanya melirik tulisan “Rp1.000” yang melekat di permukaan roda tukang es doger yang ceria. Anak kecil mengira ibunya akan mengabulkan impiannya akan es krim yang juga merupakan impian anak-anak sedunia.

“Es doger saja, ya!” kata sang ibu yang juga merupakan perintah bagi anaknya untuk tutup mulut dan hentikan rajukan. Giliran si anak yang menyerah, tak minta apa-apa lagi kecuali segalanya tak terkabulkan. Es doger pun tak apa, ada es dan susunya walau kurang nikmat dan bangga saat dipamerkan pada teman-teman. Sayangnya, Tuhan tak ingin cuaca begitu panas pada suatu waktu. Matahari dimintanya berisitirahat tiba-tiba, karena seseorang yang jauh lebih berbakti telah minta agar hujan datang siang siang.

Turunlah hujan, tidak deras, tidak juga lambat, namun cukup membuat hati awas dan kaki harus mawas. Sang ibu terperanjat dan mengikuti naluri untuk melindungi anaknya dari ancaman basah air hujan. Es doger menjadi tidak penting. Emper toko adalah pelindung bagi semua orang yang lupa bawa payung.

Tukang es doger telah telanjur basah. Dengan payah, dibawanya roda dan laci yang masih melompong. Ia membayangkan tapai, agar-agar, cingcau, dan sekoteng yang malang karena akan terbuang lagi. Diam-diam ia bertanya, apakah mau Tuhan? Apakah hujan, apakah panas, tak pernah ada yang pandai menerka itu.

Tukang Payung
Ia, tukang dagang payung itu ingin bersujud sukur, ribuan kali tiap kali hujan turun. Bukan karena indahnya, karena anaknya yang jumlahnya satu dan perempuan mungkin lebih mampu membahasakan keindahan. Hujan hanyalah bongkah-bongkah rupiah yang berjatuhan dari langit walau belum tentu masuk di kantong.

Semuanya tampak merekah dan meriah siang itu, karena hujan turun membanjir. Dari suatu langit yang jauh. Tuhan terasa begitu elok, kaya, dan adil, seperti pemilu. Orang-orang sibuk dan beramai-ramai mencari perlindungan di depan emper-emper toko yang pemiliknya sebagian merutuk pada para pencari perlindungan itu.

Seorang perempuan berusia dewasa melintasi batang hidung tukang payung yang merendung. Ia bersama anaknya. Ia melempar senyum pada tukang payung. Bahwa ia tidak berpayung adalah duka si tukang payung. Sejenak saja ia mengkhayalkan seandainya perempuan itu tinggal di depan rumahnya, tentu ia akan sudi menghadiahinya payung. Pada setiap harinya.

Sang perempuan dan anaknya berlalu, terburu-buru. Tinggallah bilangan hujan yang bertalu-talu menirukan bunyi genderang perang yang enggan berhenti. Diamdiam tukang payung itu tahu, dan sudah terbiasa untuk tahu, bahwa tugas hujan bukanlah mengabadi di bumi. Sekalipun ia turun bertubi-tubi, ia hanyalah mampir. Sementara. Suatu saat akan pergi juga.

Tidak semua orang di bumi butuh payung, anakku. Meskipun ada sekumpulan manusia yang teramat sangat mendambakan itu pada setiap harinya.

Tukang payung menoleh jam yang terselip sembunyi di pergelangan Pak Polisi yang gagah disiram hujan. Sebentar lagi maghrib. Seseorang akan menyuarakan azan. Orang-orang akan menutup jendela lalu ribuan ucapan selamat malam akan diantarkan oleh sms dan panggilan telepon. Tukang payung merasa harus pulang. Nasi sisa menanti di pinggan, harga payung tidak pernah terlalu mahal untuk membeli apa pun. Bahkan untuk makan.

Hujan tetap lembut turun di percikan-percikan jalan terluar dirinya. Tidak perlu dihitung. Ia keluarkan satu tas besar nan lucu. Payung-payung merah muda, biru langit, kupukupu, bungabunga, dan warnawarna sendu akan berpindah tempat ke dalamnya. Mari, beristirahatlah kembali, untuk menunggu lama.

Namun, siapa sangka kalau Tuhan mau payungnya pergi satu.

“Pak, payungnya satu! Cepetan!” seorang perawan, remaja, muda, cantik, pink, tergesa-gesa minta payung.

Tukang payung gagap. “Yang mana, Neng?”

“Yang mana aja! Berapaan?”

“Sepuluh ribu,” tukang payung menyodorkan payung biru bungabunga, entah cocok ataukah tidak untuk seorang perawan yang tergesa karena tak mau kehujanan.

Si perawan menyambar payung, menyodorkan uang, membuka payung, lalu kabur untuk—mungkin—menjemput seseorang. Semua terasa seperti film lama yang diputar sesekali waktu, pada hari mulai gelap. Manis, seperti gerimis. Ia, tukang payung, memasukkan sepuluh ribu satu-satunya ke dalam kantong baju yang kurus. Satu mobil mewah melintas tergesa pada kemudian. Ia mencipratkan genangan ke baju si tukang payung. Kemejanya telah terlampau basah kala itu, hingga ia tak menyadari kuyupnya.

Seorang Ibu
Mereka, ibu dan anak, tiba di rumah pada pukul tujuh malam. Baju-baju di tubuhnya basah karena tak ada payung seribu rupiah. Ruangan gelap karena lampu belum dinyalakan. Tagihan listrik telah menggunung selama dua bulan. Bersama rembulan yang tak muncul di luar (karena hujan), sang anak meraung, menusuk relung yang telah menjadi kerak dalam dada ibunya.

Sang ibu mendiamkan si anak di kursi. Anak itu belum menyerah dalam harapnya. Ia tahu, setiap ingin yang dilantunkan diam-diam dalam hati, pasti terkabul. Namun sang ibu tak bisa lagi dengar keinginan si anak. Petir-petir telah bersuara sesuai takdir. Begitu sulitnya memberi tahu bahwa kebahagiaan tidak hanya berasal dari es krim atau es doger. Mereka hanya tinggal sesaat dalam mulutmu, anakku. Tidak untuk selamanya. Bahkan pada akhirnya mereka akan minta engkau untuk keluarkan juga.

Cuaca demikian meringis, anak itu tak henti menangis. Seakan-akan hanya itu yang ia punya. Sungguh, es doger yang semula menjadi pengganti es krim itu sangat sedap dalam pandang khayal. Terlebih lagi es krim!

Sang ibu hampir putus asa. Ia melihat wajah anaknya serupa dengan wajahnya saat kecil, begitu mendamba es krim atau apa pun yang bisa dibeli tiba-tiba di jalan. Setiap manusia butuh jajan, karena itulah suaminya pergi pada suatu hari. Dan tidak pernah kembali.

“Es krim!” teriak anaknya. Kali ini ditambah dengan rontaan. Sang ibu kesal, seluruh pegal yang bertumpu di kakinya telah menebal. Terlintas keinginannya untuk memukul, siapa tahu itu bisa hentikan tangisan. Tapi setiap pukulan selalu sisakan sakit, sepelan apa pun itu. Karena itulah, ia memilih untuk hidup sendiri, tanpa lelaki lain lagi.

Ia berdiri di depan jendela, kini. Di samping meja, di belakang almari berisi baju dan celana tua. Kompor yang karatan di sudut ruangan, serta remah-remah nasi kering yang dikerubuti semut, menggusarkan pikirannya yang kesasar. Semua kenangan menyisakan isak yang telah lebih dulu tanak dalam benak. Tergesa ia hidupkan kompor gas pemberian pemerintah. Ia akan membuat anaknya bahagia, selalu, janjinya pada hati, ketika itu.

Sang anak tak mau tahu karena memang tak tahu. Ia hanya ingin menangis, tak peduli badai di luar atau di kamar. Ibunya memasakkan mie instan untuk anaknya yang selalu tampan dalam pandangan. Tak ada beras merah vitamin D, tak ada sayur wortel vitamin A, tak ada jeruk vitamin C. Tak ada susu kalsium hingga bayangan tentang es krim tak boleh terjadi.

“Es kriiim...” raung anaknya. Ia bergulingan di lantai kini. Angin di luar menebas keinginan siapa pun yang ingin keluar. Sesungguhnya ia lupa bahwa yang semula akan dibelinya bukanlah es krim, melainkan es doger yang seribuan. Sang ibu tak memedulikan itu. Ia dikejar tenggat waktu, untuk membuat anaknya bahagia. Segera! Sebentar anakku, sebentar, tunggulah...

Satu petir terdengar kemudian. Anak itu menambah volume suara tangisannya. Mungkin ia takut dan teramat sangat ingin memeluk tubuh ibunya yang bau keringat itu, dari belakang. Tapi ia malu, karena ia sedang ingin es krim (dan pelukan).

Sang ibu memasukkan mie instan ke dalam air yang sedang mendidih. Ia yakin, anaknya bukan ingin es krim. Ia hanya lapar, seperti perutnya. Dan ia telah terbiasa menjemput sesuatu yang cepat untuk hentikan kilat.

Diambilnya mangkok dan sendok-garpu. Seekor tikus melewati kakinya. Ia kaget. Namun lebih kaget lagi saat air dalam pancinya berhenti mendidih. Mie instan pipih menggenang, tak jelas antara matang dan mentah. Pilu, sang ibu menengok pantat panci. Tak ada api biru yang mencumbu bagian itu. Gas telah habis padahal rasanya baru dibeli kemarin.

Ia menoleh anaknya. Masih menangis. Masih es krim. Masih mungil. Masih cinta. Masih satu-satunya kepunyaan.

Lalu ia menoleh dompet di meja. Di sela-sela catatan utang. Di atas pipis tikus got. Di tengah ruangan kosong tanpa televisi dan radio. Di antara hantaman apa yang seharusnya dibeli, dikeluarkan, dan dibuang. Masih seribu rupiah yang ada di dalam dompet itu. Seribu rupiah. Seribu rupiah yang tak sempat diberikan pada tukang es doger karena telanjur hujan. Ia tak tahu, apakah itu merupakan kebahagiaan ataukah sebuah duka.

Tak ada jalan menuju Roma, bagi ia yang menjanda. Tubuhnya mengigil. Tak sanggup meraung meskipun ingin.

*Mahaeka lahir di Bandung, 20 Juli 1984. Penikmat sastra yang pernah berkuliah di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI.

0 komentar:

Posting Komentar